Sabtu, 27 Oktober 2012

budaya Nganjuk


KERAGAMAN BUDAYA
KOTA ANGIN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Ilmu Budaya Dasar
Dosen :
Ni’matuzzuhroh, M.Si
Disusun oleh :
Nurani Rahmania (11140100)
PGMI-C

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011


KATA PENGANTAR
          Segala puji bagi Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keragaman Budaya Kota Angin”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas ujian tengah semester bidang studi Ilmu Budaya Dasar dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan ketrampilan mahasiswa.
            Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari petunjuk dan bimbingan serta masukan dari semua pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada Ni’matuzzuhroh, M.Si selaku dosen mata kuliah ini yang telah membantu dan memberi pengarahan kepada kami dalam belajar dan mengerjakan tugas, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.
            Makalah ini kami susun selengkap-lengkapnya. Akan tetapi, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kekurangan pengetahuan serta minimnya pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca kami harapkan.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya. Amin.



Malang, 28 Oktober 2011


Penyusun
 
 





                                     
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................        i
KATA PENGANTAR...................................................................................        ii
DAFTAR ISI.................................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................        1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................        1
C.     Tujuan .....................................................................................................        2
BAB II KAJIAN PUSTAKA.......................................................................        3
BAB III STUDI KASUS
A.    Gambaran Umum Kabupaten Nganjuk...................................................        4
B.     Kesenian Tradisional...............................................................................        4
C.     Makanan Khas Kabupaten Nganjuk.......................................................        9
D.    Upacara  Tradisional Nyadran.................................................................        10

BAB IV ANALISA......................................................................................        16
BAB III PENUTUP
A.    Solusi.......................................................................................................        17
B.     Kesimpulan..............................................................................................        17
C.     Kritik dan Saran......................................................................................        18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................        19
.

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Budaya merupakan suatu kebiasaan atau perilaku masyarakat di daerah tertentu, budaya juga merupakan suatu proses yang dinamis serta memiliki nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam tata cara pergaulan masyarakat tertentu. Dari budaya tersebut maka terciptalah ragam-ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa daerah, kesenian, tari, musik, dan upacara adat. Semua ini adalah hasil dari bagian budaya. Budaya juga bisa dijadikan identitas suatu daerah.
 Setiap daerah pasti mempunyai budaya sendiri-sendiri. Meskipun terkadang terdapat kesamaan dengan daerah lain. Demikian juga Kabupaten Nganjuk. Kabupaten Nganjuk memiliki banyak keragaman budaya, misalnya: tarian, makanan khas, upacara adat, dan sebagainya. Kesadaran masyarakat akan kayanya budaya Kabupaten Nganjuk sangatlah kurang. Banyak diantara masyarakat Nganjuk sendiri yang tidak mengerti tarian-tarian khas daerah mereka. Apalagi pemuda zaman sekarang, bahkan mereka acuh terhadap kekayaan budaya daerah mereka. Mereka lebih tertarik kepada budaya barat yang sering kali membawa dampak negatif. Mereka baru akan sadar jika budaya mereka diklaim bangsa lain. Oleh karena itu penting bagi kita untuk membahas keragaman budaya Kabupaten Nganjuk.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana gambaran umum Kabupaten Nganjuk?
2.         Apa saja kesenian tradisional Kabupaten Nganjuk?
3.         Apa saja makanan khas Kabupaten Nganjuk?
4.         Apakah Upacara Tradisional Nyadran itu?


C.      Tujuan
1.         Mengerti gambaran umum Kabupaten Nganjuk.
2.         Memahami keragaman kesenian tradisional Kabupaten Nganjuk.
3.         Memahami keragaman makanan khas Kabupaten Nganjuk.
4.         Memahami Upacara Tradisional Nyadran.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta rasa, karsa, dan rasa tersebut Koentjaraningrat (1976:28). Kebudayaan dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling berbeda-beda. Budaya ialah sesuatu hal yang semiotik, tidak kentara atau bersifat laten artinya keseluruhan hal yang alamiah. Sedangkan kebudayaan ialah seluruh cara hidup manusia untuk mempertahankan hidupnya artinya, keseluruhan hal yang bukan alamiah yaitu hasil ciptaan manusia. Kebudayaan juga dapat dijelaskan dalam Situmorang (1995:3) adalah sebuah jaringan makna yang dianyam manusia tersebut dalam hidup, dan mereka bergantung pada jaringan-jaringan makna tersebut.
            Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.





BAB III
STUDI KASUS
A.       Gambaran Umum Kabupaten Nganjuk
Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Nganjuk berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro disebelah utara Kabupaten Madiun disebelah barat, dengan Kabupaten Jombang disebelah timur, dan Kabupaten Kediri disebelah selatan.[1]
Nganjuk dahulunya dikenal dengan nama Anjuk Ladang yang dalam bahasa berarti kemenangan. Nganjuk berada dilintasi jalur utama Surabaya-Yogyakarta, serta menjadi persimpangan dengan jalur menuju Kediri.
Nganjuk terletak di dataran rendah lereng gunung wilis yang mengakibatkan Kabupaten Nganjuk dikenal sangat berangin dan sering disebut dengan julukan Kota Angin. Kabupaten Nganjuk saat ini dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Drs. H. Taufiqurrahman.
B.       Kesenian Tradisional
Kesenian rakyat merupakan seni tertua, di Indonesia disebut sebagai kesenian tradisional. Sini ini sifatnya masih asli sehingga disebut juga kesenian daerah.[2]
Banyak kesenian-kesenian Kabupaten Nganjuk diantaranya:
a.         Tari Tayub
Di Kabupaten Nganjuk terletak sebuah padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian tayub, yang lebih jelasnya berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk.
Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur merupakan daerah pedesaan yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang teguh adat istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat mencintai kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa seni yang sangat kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah dengan orang lain. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali bersifat individualis, bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali siapa yang menjadi tetangganya.
Setiap harinya para warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk. Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan dari kota lain dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di Kabupaten Nganjuk.
Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah.
Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan inisiasi ledhek. tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama , Dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. pada saat menarikan tari tayub sang penari wanita yang disebut ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut. Sering terjadi persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria lainnya, persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek (istilah penari tayub wanita). Persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara penari pria.
Kesenian tayub yang pada zaman dahulu sempat masyhur diseluruh wilayah di Provinsi Jawa Timur, kini tak lagi dikenal oleh banyak kalangan masyarakat. Kesenian yang mengakar berabad-abad di Nganjuk itu harus bersaing keras dengan perkembangan era pertunjukan. Acara hajatan yang dulu selalu di meriahkan dengan tarian para waranggono kini telah kalah dengan panggung-panggung dangdut ataupun layar tancap yang menampilkan hiburan yang lebih menarik.
Mulai redupnya kesenian tayub banyak disebabkan karena, citranya yang dikenal identik dengan keburukan akibat para penikmat seni tayub yang menikmatinya dengan cara yang kurang sopan disertai dengan minum minuman keras. Untuk memperbaiki citra tayub, didirikan organisasi yang dapat memayungi kesenian tayub di Nganjuk. Didalam organisasi tersebut, selain diberikan pelajaran beragam gerak tari, para waranggono diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub. Sebenarnya banyak gadis di Kabupaten Nganjuk yang ingin ikut dalam kesenian tayub sebagai waranggono. Para gadis tersebut sangat tertarik dengan kesenian tayub, selain karena ingin melestarikan dan mengembalikan kejayaan seni tayub seperti dahulu, mereka juga sangat tertarik dengan hasil yang akan mereka peroleh kelak jika mereka telah manggung atau pentas. Dalam sekali pentas para waranggono bisa mendapatkan honor hingga ratusan ribu rupiah, itupun belum termasuk uang hasil saweran para tamu yang menikmati tarian dari para waranggono.
Akan tetapi sekarang ini banyak orang tua yang melarang anak gadisnya yang ingin menjadi waranggono. Para orang tua takut dikarenakan kesenian tayub banyak dikenal masyarakat sebagai kesenian yang jauh dari kebaikan. Sehingga para gadis mengurungkan niatnya untuk menjadi waeanggono dalam kesenian tayub. Sehinga berakibat mundurnya kesenian tayub karena semakin tahun jumlah waranggono semakin berkurang.
Kesenian atau kebudayaan dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu unsur yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena dengan kebudayaan atau kesenian tersebut kehidupan manusia tidak terlihat monoton. Begitu juga dengan kabupaten Nganjuk yang dahulu sempat masyhur dengan kesenian tayubnya. Tetapi bagaimanakah pandangan banyak kalangan tentang kesenian tayub tersebut.
Para masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan salah merekalah jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan karena, para tamu atau para penikmat seni tayub seringkali menikmatinya dengan mabuk-mabukan serta tidak jarang mereka melecehkan para waranggono yang sedang menari diatas panggung. Terlebih-lebih dalam pandangan kam muslim. Dalam kesenian tayub terdapat aksi saweran dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, saweran sebenarnya adalah pemberian uang kepada waranggono oleh seseorang setelah menari bersama. Pemberian atau saweran ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih kepada waranggono atas kesempatan untuk menari bersamanya. Nilai dan jumlah saweran tidak ditentukan, tergantung kemampuan si penyawer. Namun, cara pemberiannya yang dilakukan saat saweran itulah yang dipandang negatif oleh halayak umum. Saweran biasanya diberikan dengan cara diselipkan pada dada waranggana. Bisa pada bagian luar atau bahkan juga ada yang menyelipkannya lebih dari itu. Tentunya, pemberi saweran memiliki niat yang negatif terhadap para waranggono
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki rasa seni yang tinggi tidak akan pernah lepas dari apa yang namanya kebudayaan ataupun kesenian. Dalam hal ini bagi masyarakat Nganjuk, sebuah kabupaten kecil di Provinsi Jawa Timur yang masih banyak warganya memegang teguh kesenian mereka, yaitu kesenian tayub.
Kesenian tayub merupakan seni tari yang mempertontonkan lekak-lekuk tubuh penarinya. Bagi para gadis yang ingin menjadi waranggono, mereka harus melewati beberapa syarat dahulu sebelum mereka diwisuda. Barlah setelah di wisuda mereka akan mendapatkan surat izin untuk menjadi seorang waranggono.[3]
b.      Wayang Timplong
Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk, Jawa Timur. Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, Provinsi Jawa Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring, juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang.[4]
c.       Tari mung dhe
Tari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal dari Desa Garu, Kecamatan Baron, Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme. Selain itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo).
Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
Ø   2 orang berperan sebagi penari /prajurit.
Ø   2 orang berperan sebagi pembawa bendera.
Ø   2 orang berperan sebagai botoh
Ø   8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan usia dewasa [baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda (gembyangan-red) Waranggono. [5]
d.      Jaranan

C.      Makanan Khas Kabupaten Nganjuk
a.       Nasi becek.
Yaitu sejenis gulai kambing yang memiliki rasa khas dengan penambahan irisan daun jeruk nipis.
b.      Dumbleg
Dumbleg adalah jajanan tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Tepatnya di daerah Kecamatan Gondang dan sekitarnya. Makanan yang unik ini memang mirip pudak (makanan khas Gresik) tapi yang membuat berbeda adalah rasa dan tampilannya. Rasa dumbleg ini manis legit dan bentuknya panjang kayak lontong. Jajanan ini yang terbuat dari tepung beras, gula jawa, dan  santan yang dibungkus dari pelepah jambe.
Makanan ini hanya ada pada hari-hari tertentu di Pasar Gondang (tiap Pasaran Pon) dan Pasar Rejoso (tiap pasaran kliwon).
c.          Onde-onde Njeblos
Yaitu semacam onde-onde tapi tidak berisi. Berbentuk seperti bola yang ditaburi wijen.
d.      Nasi Pecel
Yaitu semacam nasi yang ada sayurnya (kulup) ditaburi dengan pedasnya sambal pecel, ciri khas asli Nganjuk sangat pedas dan rempeyek yang renyah.
e.          Nasi Sambal Tumpang
Yaitu semacam sambal yang dibuat dari tempe dilumatkan dengan bumbu dan rasanya gurih dan pedas.
f.       Krupuk Upil
Yaitu krupuk yang digoreng tanpa minyak tetapi menggunakan pasir.[6]

D.       Upacara  Tradisional Nyadran
Warga masyarakat Dusun Kemlokolegi termasuk salah satu diantara Dusun dan Desa yang ada di wilayah Kabupaten Nganjuk yang sampai sekarang masih melestarikan upacara tradisional Nyadran. Di beberapa daerah ada yang menyebut Sadran. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun yang silam sampai sekarang.
Kata Nyadran maupun Sadran keduanya berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra yang kemudian karena perjalanan zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau Sadran. Kata Sadran mempunyai arti ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa sejak zaman Hindu-budha di negeri ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir semua warga masyarakat ikut melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan agama yang dianutnya. Bagi warga masyarakat dusun Kemlokolegi, tradisi Nyadran diselenggarakan mengambil hari jumat Pahing atau Jumat Legi, pada bulan-bulan usai masa panen padi. baru akhir-akhir ini dijatuhkan pada bulan April, hal ini dikandung maksud di samping telah usai masa panen padi juga sekaligus ikut merayakan hari jadi Kota Nganjuk.
Mengawali rangkaian upacara tradisi Nyadran, dimulai dengan selamatan di makam Eyang Kunci yang memang cikal bakal leluhur dan orang pertama di Desa Kemlokolegi. Selamatan berlangsung sebelum matahari terbit, kemudian dilanjukan selamatan di makam "Sana Pralaya II" yaitu sebuah makam umum warga masyarakat Dusun kemlokolegi sementara "Sana Pralaya I" , tiada bekas dan sudah menjadi perumahan warga. Masih dalam rangkaian upacara tradisi Nyadran, sebagai puncak acara warga masyarakat selamatan di rumah Lurah atau Kepala Desa istilah sekarang atau di Balai Desa di masa sekarang.berduyun-duyun warga mengusung jolen, di mana keberangkatan dari rumah-rumah warga dibarengi iring-iringan kesenian tradisional menuju rumah Lurah atau Balai Desa di jaman sekarang. Kata Jolen berasal dari kata Joli atau Joli Kencana yaitu sebuah tandu untuk mengusung Raja atau Putra Raja pada waktu hendak anjangsana ke daerah pedesaan. Joli kencana diusung atau dipikul oleh empat orang abdi dalem. Demikian juga Jolen sebagai wadah atau tempat persembahan berupa ambeng dan aneka macam hasil bumi mulai dari pala kependem, pala gemantung, maupun pala kesimpar. Persembahan dimaksudkan sebagai bentuk perwujudan bulu bekti warga atau loyalitas warga kepada Lurah sebagai "pangarsa praja". Jolen dipikul olehempat orang warga layaknya abdi dalem mengusung Raja. Pernak-pernik hiasan mewarnai Jolen sesuai kreativitas warga, meskipun dimasa sekarang terasa kering dan mandul. Tradisi jolen bagi warga masyarakat kemlokolegi sudah berlangsung ratusan tahun yang silam, semenjak adanya pemerintahan desa pertama, semasa Eyang Sinagadangsa ditunjuk oleh Wedana Kertasana sebagai Lurah Desa Kemlokolegi.Eyang Singadangsa adalah putra ketiga Eyang Kunci dari tujuh bersaudara. Waktu itu Desa Kemlokolegi baru terdiri dari tiga pedukuhan yaitu kemlokolegi, blimbing, dan Panggangrambak. Ketiga pedukuhan berada di sebelah utara jalan desa sekarang sedangkan di sebelah selatan jalan masih berupa "alas brendilan". Khusun pedukuhan Kemlokolegi, waktu itu baru dihuni oleh ketujuh putra Eyang kunci berjajar dari timur ke barat menghadap ke selatan.
Keberadaan Jolen bukan sekedar "simbol etika" akan tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam, di mana disampaikan oleh simbah buyut atau bapa biyung lewat "kekudangan". Hampir setiap malam kekudangan disampaikan waktu menjelang tidur atau pada waktu tiduran di halaman rumah beralaskan tikae waktu bulan purnama. Memang diantara "kekudangan" dan "dongeng" disamping memiliki kesamaan waktu penyampaian juga kesamaan tujuan yaitu memberi "piwulang" hidup yang baik dalam menatap kehidupan hari ini dan menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. Perbedaan terletak pada metode penyampaian, dimana kekudangan disampaikan langsung atau "verbal" sehingga tidak menutup kemungkinan terkesan membosankan bagi anak cucu. Berbeda dengan dongeng dimana disampaikan dengan mengandung unsur hiburan lewat tetembangan, dialog, dengan warna suara yang berbeda. "Nilai Luhur" terselubung lewat tokoh-tokoh cerita dan memiliki alur ceritera yang sudah mapan.
Salah satu kekudangan diantaranya yang berkaitan dengan adanya Jolen, waktu itu disampaikan : Lurah diidentikkan dengan Raja atau Presiden untuk masa sekarang. Untuk itu kepada anak cucu ditanamkan, "wajib untuk selalu taat, patuh, dan ngabekti atau loyal kepada Lurah". Tanpa harus memandang siapa yang menjadi Lurah. Juga disampaikan manakala kelak telah dewasa dan "ambyur" bermasyarakat jangan sampai "mbalela" mengkang pranatan Lurah. Bahkan disampaikan, dan untuk masa sekarang mungkin dianggap semacam intimidasi, "siapa yang "mbalela" mengkang pranatan lurah tidak akan bisa "mulya" hidupnya bahkan akan hidup sengsara di kemudian hari. Kekudangan yang erat hubungannya dengan keberadaan Jolen ini sampai sekarang dipegang teguh oleh anak cucu warga masyarakat terutama "trah" dari Eyang kunci. Dari dulu sampai sekarang bila ditelusuri belum pernah terjadi anak cucu mbalela mengkang pranatan. Kalau toh pernah terjadi dapat dipastikan oleh warga atau orang-orang diluar garis.
Pemikiran para leluhur desa lewat kekudangan waktu itu sepertinya telah berpijak pada "tembang-tembang pedesaan" atau buku Nagara Kertagama karya Empu Prapanca semasa kerajaan Majapahit yang telah mempersatukan bumi nusantara. kesamaan dalam upacara Nyadran sebagaimana tertulis dalam Wirama 65, Jagaddhita Bait 257, yang menguraikan tentang Srada (Nyadran) ;
sang ari natha ri wengkerspeneda wawan yasa pethani tadhah niradhika.
sarwendah racananya mulya madulur dhana witarana wartta ring sabha.
Artinya : baginda Raja Wengker mempersembahkan santapan utama dengan tempat berbentuk tiruan rumah yang indah. Beraneka ragam hiasan yang indah dilengkapi barang-barang yang dibagi-bagikan sebagai pemberian di balai pertemuan.
Demikian juga beraneka macam bentuk persembahan dapat dilihat pada bait 260: Enjing rakwa kaping neming dina bathara narapati sabojana krama marak, mwang sang ksatriya sang padhadhika penuh yasa buku bukuran rinem bata susun, dharmma dhyaksa kaleh sire kinawawan banawa padha winarnna bhawaka kidung, gongnya lwir tuhu palwa gong gubara gentura ngirigaweh reseping ngumalat. Artinya ; Pagi-pagi pada hari keenam baginda raja bersiap mempersembahkan sajian, serta para pembesar bangsawan persembahannya berbentuk bangunan meru bertingkat yang diusung. Dua orang penganut agama persembahannya berbentuk perahu dihias sesuai dengan cerita dalam kidung, besarnya benar-benar sebesar sampan diikuti oleh tabuh-tabuhan yang gemuruh membuat penonton tertegun. Sedangkan untuk melihat sejauh mana keseriusan dan kesungguhan dalam mempersiapkan tempat untuk upacara Srada atau Nyadran dapat kita baca pada bait 250 : Kulwan mandapa sapralamba winangun stana narendra pupul, lor tekang taratak pinik mideramurwwa tumpa tumpang wugat, stri ning mantri bhujangga wiprengi daha talpanya sampun pepek. ngkene daksine bhretyasangghya taragnya sangkya kirana susun Artinya : Di barat pendapa dihias rumbai janur tempat raja duduk berkumpul, serambi utara dihias berbelok ke timur, berjenjang-jenjang hingga ke belakang istri para menteri pujangga, pendeta, disiapkan secukupnya. Diselatan serambi untuk para abdi tempatnya indah berjenjang. Untuk menghibur masyarakat, utamanya rakyat kecil juga diselenggarakan beberapa jenis hiburan.  bait 264 : Sasing karya tusta rikanang parajana winangun narerswara huwus, Nang widwamacangah raket raketaganti sabana para sitada pratidina, hanyat bhata mapatra yuddha sahajang magel agelapanang gyatangdani paceh, mukyang dhana salwiring manasi tan pagatamuhara harsa ning sabhuwana. Artinya : Segala kegiatan untuk menggembirakan raakyat telah diselenggarakan oleh Baginda Raja, yang pandai dalam hal babat menari topeng bergantian dengan penyanyi-penyanyi setiap hari, prajurit mementaskan tari perang dahsyat pukul memukul mengejutkan menimbulkan gelak ketawa, mengutamakan sedekah untuk peminta-minta tak terputus menyebabkan rakyat gembira. Membaca uraian di atas antara upacara tradsi yang selama ini dilestarikan warga masyarakat Kemlokolegi dengan pelaksanaan upacara Srada (Nyadran zaman Majapahit) siapapun orangnya pasti mengatakan bahwa masyarakat Kemlokolegi telah berhasil melestarikan budaya leluhur, budaya nenek moyang. Melihat makna dan nilai yang terselubung pada tradisi Jolen dan melihat perkembangan zaman dimasa sekarang kiranya tidak cukup jika anak cucu dimasa sekarang hanya sebatas "ngleluri" tradisi jolen. Sekarang sudah waktunya untuk mengembangkan demi kelestarian budaya tradisi jolen yang kita miliki. Sudah waktunya jolen mendapatkan sentuhan tangan-tangan terampil yang artistik apabila tidak ingin ditinggalkan oleh zaman. warga masyarakat kemlokolegi tidak perlu banyak mengharap uluran tangan orang lain atau dari manapun juga. Hanya "pangarsa praja" diharapkan menjadi tauladan atau panutan sebagaimana yang dilakukan  raja-raja di jaman Majapahit. Jolen sebagai budaya tradisi memiliki pondasi yang kokoh untuk mempersatukan warga, gotong royong, berkarya dan membangun. Suatu saat manakala "dikemas" dapat menjadi aset desa sebagai "obyek wisata berkala" yang tidak akan ada duanya di daerah Kabupaten Nganjuk bahkan di Jawa Timur sekalipun. Sebagai pewaris, dan tidak lupa sebagai rasa hormat kepada para leluhur sudah barang tentu kita memiliki tanggungjawab untuk "melestarikan" dan "mengembangkan" budaya tradisi jolen yang kita miliki. Di masa mendatang, jolen perlu diajukan untuk mendapatkan "suaka perlindungan budaya" dengan harapan tidak akan hanyut oleh riak gelombang jaman di era globalisasi yang penuh kemajemukan dan tantangan.


 BAB IV
ANALISA
Nganjuk memiliki berbagai budaya yang beragam. Pada zaman dulu sangat kental dalam pengamalannya. Walaupun pada saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, tapi masih juga masih banyak juga yang melestarikannya, tidak hilang begitu saja. Karena di Kabupaten Nganjuk masih banyak tokoh-tokoh budaya yang siap menjaga kebudayaan bersama para penerus mereka.
Makanan khas, tarian daerah, dan upacara adat masih dilestarikan. Biasanya di desa-desa atau kecamatan tertentu. Sebenarnya hasil karya kita sendiri tidak kalah dengan hasil dari luar negeri. Buktinya banyak orang-orang yang merantau ke luar kota atau ke luar jawa kangen dengan keragaman budaya daerah mereka. Mereka rindu dengan kekhasan bumbu masakan asli Nganjuk yang beda dengan yang lain.
Tetapi antusias anak-anak muda sekarang sudah tidak peduli hal itu, mereka hanya mengikuti mode saja. Bahkan ketertarikan mereka terhadap budaya kalah dengan para pengunjung dari daerah lain. Mereka tidak sadar betapa indahnya budaya-budaya Nganjuk. Selain itu ada faktor yang menjadikan orang tua enggan membiarkan anak mereka ikut terjun dalam pelestarian budaya karena tidak sesuainya dengan nilai agama.





BAB V
SOLUSI DAN KESIMPULAN

A.    SOLUSI
·         Kebudayaan Kabupaten Nganjuk perlu dilestarikan, guna menjaga agar tidak hilang begitu saja.
·         Pengenalan budaya bisa dilakukan dengan menyelenggarakan seminar-seminar budaya yang dilaksanakan mulai dari tingkat dasar.
·         Pematenan budaya juga perlu dilakukan agar budaya kita tidak di klaim bangsa lain.
·         Rasa saling mengharagai sangat penting dalam hidup berbudaya.
·         Kesadaran individu akan rasa memiliki budaya harus ditingkatkan, terutama pada generasipenerus.
·         Harus ada batasan-batasan dalama pengeksplorasian budaya agar tidak keluar dari norma-norma yang berlaku.

B.     KESIMPULAN
·         Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Nganjuk dahulunya dikenal dengan nama Anjuk Ladang. Kabupaten Nganjuk dikenal sangat berangin dan sering disebut dengan julukan Kota Angin. Kabupaten Nganjuk saat ini dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Drs. H. Taufiqurrahman.
·         Banyak kesenian-kesenian Kabupaten Nganjuk diantaranya: Tari Tayub, Wayang Timplong, Tari mung dhe, dan Jaranan
·         Makanan khas daerah nganjuk antara lain: nasi becek, dumbleg, onde-onde njeblos, nasi pecel, nasi sambal tumpang, dan krupuk upil
·         Salah satu upacara yang masih sangat dilestariakan di Kabupaten Nganjuk adalah nyadran.

C.    KRITIK DAN SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah kami selanjutnya.

























DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Akhmad. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia
http://wahyumedia.wordpress.com/2009/05/06/manis-legitnya-dumbleg-nganjuk/


[2] Drs. H. Akhmad Mustofa,Ilmu Budaya Dasar, hal. 72
[3] http://keseniannganjuk.blogspot.com/2009/12/upacara-tradisional-nyadran.html
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_timplong
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Mung_Dhe