KERAGAMAN BUDAYA
KOTA
ANGIN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Ilmu Budaya Dasar
Dosen :
Ni’matuzzuhroh,
M.Si
Disusun
oleh :
Nurani
Rahmania (11140100)
PGMI-C
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT yang selalu melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keragaman Budaya Kota Angin”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas ujian tengah semester bidang studi Ilmu
Budaya Dasar dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan
ketrampilan mahasiswa.
Dalam penulisan makalah ini tidak
lepas dari petunjuk dan bimbingan serta masukan dari semua pihak. Untuk itu,
kami mengucapkan terimakasih kepada Ni’matuzzuhroh,
M.Si selaku dosen mata kuliah ini yang telah membantu dan memberi
pengarahan kepada kami dalam belajar dan mengerjakan tugas, dan juga semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini sehingga makalah ini
dapat selesai tepat waktu.
Makalah ini kami susun
selengkap-lengkapnya. Akan tetapi, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna karena keterbatasan dan kekurangan pengetahuan serta minimnya
pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca kami harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya. Amin.
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.
Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA....................................................................... 3
BAB III STUDI KASUS
A. Gambaran
Umum Kabupaten Nganjuk................................................... 4
B.
Kesenian Tradisional............................................................................... 4
C.
Makanan Khas Kabupaten Nganjuk....................................................... 9
D.
Upacara Tradisional Nyadran................................................................. 10
BAB IV ANALISA...................................................................................... 16
BAB III PENUTUP
A.
Solusi....................................................................................................... 17
B.
Kesimpulan.............................................................................................. 17
C.
Kritik dan Saran...................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 19
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya merupakan suatu kebiasaan atau perilaku
masyarakat di daerah tertentu, budaya juga merupakan suatu proses yang dinamis
serta memiliki nilai-nilai dan
norma-norma kehidupan yang berlaku dalam tata cara pergaulan masyarakat
tertentu. Dari budaya tersebut maka terciptalah ragam-ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa
daerah, kesenian, tari, musik, dan upacara adat. Semua ini adalah hasil dari
bagian budaya. Budaya juga bisa dijadikan identitas suatu daerah.
Setiap daerah pasti mempunyai budaya
sendiri-sendiri. Meskipun
terkadang terdapat kesamaan dengan daerah lain. Demikian juga Kabupaten
Nganjuk. Kabupaten Nganjuk memiliki banyak
keragaman budaya, misalnya: tarian, makanan khas, upacara adat, dan sebagainya.
Kesadaran masyarakat akan kayanya budaya Kabupaten Nganjuk sangatlah kurang.
Banyak diantara masyarakat Nganjuk sendiri yang tidak mengerti tarian-tarian
khas daerah mereka. Apalagi pemuda zaman sekarang, bahkan mereka acuh terhadap
kekayaan budaya daerah mereka. Mereka lebih tertarik kepada budaya barat yang
sering kali membawa dampak negatif. Mereka baru akan sadar jika budaya mereka
diklaim bangsa lain. Oleh karena itu penting bagi kita untuk membahas keragaman
budaya Kabupaten Nganjuk.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
gambaran umum Kabupaten Nganjuk?
2.
Apa
saja kesenian tradisional Kabupaten Nganjuk?
3.
Apa
saja makanan khas Kabupaten Nganjuk?
4.
Apakah Upacara Tradisional Nyadran itu?
C. Tujuan
1.
Mengerti
gambaran umum Kabupaten Nganjuk.
2.
Memahami
keragaman kesenian tradisional Kabupaten Nganjuk.
3.
Memahami
keragaman makanan khas Kabupaten Nganjuk.
4.
Memahami
Upacara Tradisional Nyadran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Budaya adalah daya
dari budi yang berupa cipta dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari
cipta rasa, karsa, dan rasa tersebut Koentjaraningrat (1976:28). Kebudayaan
dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa
saling berbeda-beda. Budaya ialah sesuatu hal yang semiotik, tidak kentara atau
bersifat laten artinya keseluruhan hal yang alamiah. Sedangkan kebudayaan ialah
seluruh cara hidup manusia untuk mempertahankan hidupnya artinya, keseluruhan
hal yang bukan alamiah yaitu hasil ciptaan manusia. Kebudayaan juga dapat
dijelaskan dalam Situmorang (1995:3) adalah sebuah jaringan makna yang dianyam
manusia tersebut dalam hidup, dan mereka bergantung pada jaringan-jaringan
makna tersebut.
Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan
bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti
menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan
(Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam
Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta
kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah
segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982),
mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek
yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara
baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
BAB III
STUDI KASUS
A.
Gambaran
Umum Kabupaten Nganjuk
Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten yang
berada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Nganjuk berbatasan dengan Kabupaten
Bojonegoro disebelah utara Kabupaten Madiun disebelah barat, dengan Kabupaten
Jombang disebelah timur, dan Kabupaten Kediri disebelah selatan.[1]
Nganjuk dahulunya dikenal dengan nama Anjuk
Ladang yang dalam bahasa berarti kemenangan. Nganjuk berada dilintasi jalur
utama Surabaya-Yogyakarta, serta menjadi persimpangan dengan jalur menuju
Kediri.
Nganjuk terletak
di dataran rendah lereng gunung wilis yang mengakibatkan Kabupaten Nganjuk
dikenal sangat berangin dan sering disebut dengan julukan Kota Angin. Kabupaten
Nganjuk saat ini dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Drs. H.
Taufiqurrahman.
B. Kesenian
Tradisional
Kesenian
rakyat merupakan seni tertua, di Indonesia disebut sebagai kesenian
tradisional. Sini ini sifatnya masih asli sehingga disebut juga kesenian
daerah.[2]
Banyak kesenian-kesenian Kabupaten Nganjuk diantaranya:
Di Kabupaten Nganjuk terletak sebuah
padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian tayub, yang lebih
jelasnya berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk.
Desa
Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur merupakan daerah
pedesaan yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang
teguh adat istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat
mencintai kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa
seni yang sangat kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah
dengan orang lain. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali
bersifat individualis, bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali
siapa yang menjadi tetangganya.
Setiap
harinya para warga di Desa
Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak
terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk. Akan tetapi jika
ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti
diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro
tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan
dari kota lain dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda
para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di Kabupaten
Nganjuk.
Tari
Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa
yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan
tari Jaipong
dari Jawa Barat. Unsur keindahan
diiikuti dengan kemampuan penari
dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong
yang lebih populer dari Jawa Tengah.
Tarian
ini biasa digelar pada acara pernikahan,
khitan
serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa.
Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden,
penata gamelan
serta penari khususnya wanita.
Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama,
biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan inisiasi ledhek. tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan
untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. beberapa tokoh agama islam
menganggap tari tayub melanggar etika agama , Dikarenakan tarian ini sering
dibarengi dengan minum minuman keras. pada saat menarikan tari tayub sang
penari wanita yang disebut ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan
selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut.
Sering terjadi persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria
lainnya, persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek
(istilah penari tayub wanita). Persaingan ini sering menimbulkan perselisihan
antara penari pria.
Kesenian tayub yang pada zaman dahulu sempat
masyhur diseluruh wilayah di Provinsi Jawa Timur, kini tak lagi dikenal oleh
banyak kalangan masyarakat. Kesenian yang mengakar
berabad-abad di Nganjuk itu harus bersaing keras dengan perkembangan era
pertunjukan. Acara hajatan yang dulu selalu di meriahkan dengan tarian para
waranggono kini telah kalah dengan panggung-panggung dangdut ataupun layar
tancap yang menampilkan hiburan yang lebih menarik.
Mulai
redupnya kesenian tayub banyak disebabkan karena, citranya yang dikenal identik
dengan keburukan akibat para penikmat seni tayub yang menikmatinya dengan cara
yang kurang sopan disertai dengan minum minuman keras. Untuk memperbaiki citra
tayub, didirikan organisasi yang dapat memayungi kesenian tayub di Nganjuk.
Didalam organisasi tersebut, selain diberikan pelajaran beragam gerak tari,
para waranggono diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para
penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub. Sebenarnya
banyak gadis di Kabupaten Nganjuk yang ingin ikut dalam kesenian tayub sebagai
waranggono. Para gadis tersebut sangat tertarik dengan kesenian tayub, selain
karena ingin melestarikan dan mengembalikan kejayaan seni tayub seperti dahulu,
mereka juga sangat tertarik dengan hasil yang akan mereka peroleh kelak jika
mereka telah manggung atau pentas. Dalam sekali pentas para waranggono bisa
mendapatkan honor hingga ratusan ribu rupiah, itupun belum termasuk uang hasil
saweran para tamu yang menikmati tarian dari para waranggono.
Akan
tetapi sekarang ini banyak orang tua yang melarang anak gadisnya yang ingin
menjadi waranggono. Para orang tua takut dikarenakan kesenian tayub banyak
dikenal masyarakat sebagai kesenian yang jauh dari kebaikan. Sehingga para
gadis mengurungkan niatnya untuk menjadi waeanggono dalam kesenian tayub.
Sehinga berakibat mundurnya kesenian tayub karena semakin tahun jumlah
waranggono semakin berkurang.
Kesenian
atau kebudayaan dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu unsur yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Karena dengan kebudayaan atau kesenian tersebut
kehidupan manusia tidak terlihat monoton. Begitu juga dengan kabupaten Nganjuk
yang dahulu sempat masyhur dengan kesenian tayubnya. Tetapi bagaimanakah
pandangan banyak kalangan tentang kesenian tayub tersebut.
Para
masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan
salah merekalah jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan
karena, para tamu atau para penikmat seni tayub seringkali menikmatinya dengan
mabuk-mabukan serta tidak jarang mereka melecehkan para waranggono yang sedang
menari diatas panggung. Terlebih-lebih dalam pandangan kam muslim. Dalam
kesenian tayub terdapat aksi saweran dan meminum minuman yang memabukkan.
Padahal, saweran sebenarnya adalah pemberian uang kepada waranggono oleh
seseorang setelah menari bersama. Pemberian atau saweran ini dilakukan sebagai
ucapan terima kasih kepada waranggono atas kesempatan untuk menari bersamanya.
Nilai dan jumlah saweran tidak ditentukan, tergantung kemampuan si penyawer.
Namun, cara pemberiannya yang dilakukan saat saweran itulah yang dipandang
negatif oleh halayak umum. Saweran biasanya diberikan dengan cara diselipkan
pada dada waranggana. Bisa pada bagian luar atau bahkan juga ada yang
menyelipkannya lebih dari itu. Tentunya, pemberi saweran memiliki niat yang negatif
terhadap para waranggono
Manusia
sebagai makhluk Tuhan yang memiliki rasa seni yang tinggi tidak akan pernah
lepas dari apa yang namanya kebudayaan ataupun kesenian. Dalam hal ini bagi
masyarakat Nganjuk, sebuah kabupaten kecil di Provinsi Jawa Timur yang masih
banyak warganya memegang teguh kesenian mereka, yaitu kesenian tayub.
Kesenian
tayub merupakan seni tari yang mempertontonkan lekak-lekuk tubuh penarinya.
Bagi para gadis yang ingin menjadi waranggono, mereka harus melewati beberapa
syarat dahulu sebelum mereka diwisuda. Barlah setelah di wisuda mereka akan
mendapatkan surat izin untuk menjadi seorang waranggono.[3]
Wayang
Timplong adalah sejenis kesenian wayang
dari daerah Nganjuk,
Jawa Timur. Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910
dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, Provinsi Jawa
Timur. Wayang ini
terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang
digunakan sebagai musik pengiring, juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari
Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang.[4]
Tari Mung Dhe
adalah tari tradisional yang berasal
dari Desa Garu, Kecamatan
Baron,
Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah
air, heroik, patriotisme. Selain itu
tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin
oleh Sentot
Prawirodirdjo).
Dalam tari ini
menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan
orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang
latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada
dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.
Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang
lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli,
karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan
botohnya lucu .
Secara keseluruhan, tari Mung Dhe
melibatkan 14 pemain dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :
Ø
2 orang berperan sebagi penari
/prajurit.
Ø
2 orang berperan sebagi pembawa
bendera.
Ø
2 orang berperan sebagai botoh
Ø
8 orang berperan sebagai penabuh
/pengiring.
Pada perkembanganya sekarang hanya
melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan
organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuan dan dalam tingkatan usia dewasa
[baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung
Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta
Wisata,
maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda (gembyangan-red) Waranggono. [5]
d. Jaranan
C. Makanan
Khas Kabupaten Nganjuk
Yaitu sejenis gulai kambing yang
memiliki rasa khas dengan penambahan irisan daun jeruk nipis.
b. Dumbleg
Dumbleg
adalah jajanan tradisional khas Nganjuk, Jawa Timur. Tepatnya di daerah
Kecamatan Gondang dan sekitarnya. Makanan yang unik ini memang mirip pudak
(makanan khas Gresik) tapi yang membuat berbeda adalah rasa dan tampilannya. Rasa dumbleg ini manis legit dan bentuknya
panjang kayak lontong. Jajanan ini yang terbuat dari tepung beras, gula jawa,
dan santan yang dibungkus dari pelepah
jambe.
Makanan ini
hanya ada pada hari-hari tertentu di Pasar Gondang (tiap Pasaran Pon) dan Pasar
Rejoso (tiap pasaran kliwon).
c.
Onde-onde
Njeblos
Yaitu semacam onde-onde tapi tidak berisi. Berbentuk seperti bola yang ditaburi
wijen.
d. Nasi
Pecel
Yaitu
semacam nasi yang ada sayurnya (kulup) ditaburi dengan pedasnya sambal pecel,
ciri khas asli Nganjuk sangat pedas dan rempeyek yang renyah.
e.
Nasi Sambal Tumpang
Yaitu
semacam sambal yang dibuat dari tempe dilumatkan dengan bumbu dan rasanya gurih
dan pedas.
f. Krupuk
Upil
Yaitu krupuk yang digoreng tanpa
minyak tetapi menggunakan pasir.[6]
D. Upacara
Tradisional Nyadran
Warga
masyarakat Dusun Kemlokolegi termasuk salah satu diantara Dusun dan Desa yang
ada di wilayah Kabupaten Nganjuk yang sampai sekarang masih melestarikan
upacara tradisional Nyadran. Di beberapa daerah ada yang menyebut Sadran.
Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun yang silam sampai sekarang.
Kata
Nyadran maupun Sadran keduanya berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra
yang kemudian karena perjalanan zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau
Sadran. Kata Sadran mempunyai arti ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa
sejak zaman Hindu-budha di negeri ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir
semua warga masyarakat ikut melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan
agama yang dianutnya. Bagi warga masyarakat dusun Kemlokolegi, tradisi Nyadran
diselenggarakan mengambil hari jumat Pahing atau Jumat Legi, pada bulan-bulan
usai masa panen padi. baru akhir-akhir ini dijatuhkan pada bulan April, hal ini
dikandung maksud di samping telah usai masa panen padi juga sekaligus ikut
merayakan hari jadi Kota Nganjuk.
Mengawali
rangkaian upacara tradisi Nyadran, dimulai dengan selamatan di makam Eyang
Kunci yang memang cikal bakal leluhur dan orang pertama di Desa Kemlokolegi.
Selamatan berlangsung sebelum matahari terbit, kemudian dilanjukan selamatan di
makam "Sana Pralaya II" yaitu sebuah makam umum warga masyarakat
Dusun kemlokolegi sementara "Sana Pralaya I" , tiada bekas dan sudah
menjadi perumahan warga. Masih dalam rangkaian upacara tradisi Nyadran, sebagai
puncak acara warga masyarakat selamatan di rumah Lurah atau Kepala Desa istilah
sekarang atau di Balai Desa di masa sekarang.berduyun-duyun warga mengusung
jolen, di mana keberangkatan dari rumah-rumah warga dibarengi iring-iringan
kesenian tradisional menuju rumah Lurah atau Balai Desa di jaman sekarang. Kata
Jolen berasal dari kata Joli atau Joli Kencana yaitu sebuah tandu untuk
mengusung Raja atau Putra Raja pada waktu hendak anjangsana ke daerah pedesaan.
Joli kencana diusung atau dipikul oleh empat orang abdi dalem. Demikian juga
Jolen sebagai wadah atau tempat persembahan berupa ambeng dan aneka macam hasil
bumi mulai dari pala kependem, pala gemantung, maupun pala kesimpar. Persembahan
dimaksudkan sebagai bentuk perwujudan bulu bekti warga atau loyalitas warga
kepada Lurah sebagai "pangarsa praja". Jolen dipikul olehempat orang
warga layaknya abdi dalem mengusung Raja. Pernak-pernik hiasan mewarnai Jolen
sesuai kreativitas warga, meskipun dimasa sekarang terasa kering dan mandul. Tradisi
jolen bagi warga masyarakat kemlokolegi sudah berlangsung ratusan tahun yang
silam, semenjak adanya pemerintahan desa pertama, semasa Eyang Sinagadangsa
ditunjuk oleh Wedana Kertasana sebagai Lurah Desa Kemlokolegi.Eyang Singadangsa
adalah putra ketiga Eyang Kunci dari tujuh bersaudara. Waktu itu Desa Kemlokolegi
baru terdiri dari tiga pedukuhan yaitu kemlokolegi, blimbing, dan Panggangrambak.
Ketiga pedukuhan berada di sebelah utara jalan desa sekarang sedangkan di sebelah
selatan jalan masih berupa "alas brendilan". Khusun pedukuhan
Kemlokolegi, waktu itu baru dihuni oleh ketujuh putra Eyang kunci berjajar dari
timur ke barat menghadap ke selatan.
Keberadaan
Jolen bukan sekedar "simbol etika" akan tetapi memiliki makna yang
jauh lebih dalam, di mana disampaikan oleh simbah buyut atau bapa biyung lewat
"kekudangan". Hampir setiap malam kekudangan disampaikan waktu
menjelang tidur atau pada waktu tiduran di halaman rumah beralaskan tikae waktu
bulan purnama. Memang diantara "kekudangan" dan "dongeng" disamping
memiliki kesamaan waktu penyampaian juga kesamaan tujuan yaitu memberi
"piwulang" hidup yang baik dalam menatap kehidupan hari ini dan
menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. Perbedaan terletak pada metode
penyampaian, dimana kekudangan disampaikan langsung atau "verbal"
sehingga tidak menutup kemungkinan terkesan membosankan bagi anak cucu. Berbeda
dengan dongeng dimana disampaikan dengan mengandung unsur hiburan lewat
tetembangan, dialog, dengan warna suara yang berbeda. "Nilai Luhur"
terselubung lewat tokoh-tokoh cerita dan memiliki alur ceritera yang sudah
mapan.
Salah
satu kekudangan diantaranya yang berkaitan dengan adanya Jolen, waktu itu
disampaikan : Lurah diidentikkan dengan Raja atau Presiden untuk masa sekarang.
Untuk itu kepada anak cucu ditanamkan, "wajib untuk selalu taat, patuh,
dan ngabekti atau loyal kepada Lurah". Tanpa harus memandang siapa yang
menjadi Lurah. Juga disampaikan manakala kelak telah dewasa dan "ambyur"
bermasyarakat jangan sampai "mbalela" mengkang pranatan Lurah. Bahkan
disampaikan, dan untuk masa sekarang mungkin dianggap semacam intimidasi,
"siapa yang "mbalela" mengkang pranatan lurah tidak akan bisa
"mulya" hidupnya bahkan akan hidup sengsara di kemudian hari.
Kekudangan yang erat hubungannya dengan keberadaan Jolen ini sampai sekarang
dipegang teguh oleh anak cucu warga masyarakat terutama "trah" dari
Eyang kunci. Dari dulu sampai
sekarang bila ditelusuri belum pernah terjadi anak cucu mbalela mengkang
pranatan. Kalau toh pernah terjadi dapat dipastikan oleh warga atau orang-orang
diluar garis.
Pemikiran para leluhur desa lewat kekudangan waktu itu
sepertinya telah berpijak pada "tembang-tembang pedesaan" atau buku
Nagara Kertagama karya Empu Prapanca semasa kerajaan Majapahit yang telah
mempersatukan bumi nusantara. kesamaan dalam upacara Nyadran sebagaimana
tertulis dalam Wirama 65, Jagaddhita Bait 257, yang menguraikan tentang Srada
(Nyadran) ;
sang ari natha ri wengkerspeneda wawan yasa pethani tadhah niradhika.
sarwendah racananya mulya madulur dhana witarana wartta ring sabha. Artinya : baginda Raja Wengker mempersembahkan santapan utama dengan tempat berbentuk tiruan rumah yang indah. Beraneka ragam hiasan yang indah dilengkapi barang-barang yang dibagi-bagikan sebagai pemberian di balai pertemuan.
sang ari natha ri wengkerspeneda wawan yasa pethani tadhah niradhika.
sarwendah racananya mulya madulur dhana witarana wartta ring sabha. Artinya : baginda Raja Wengker mempersembahkan santapan utama dengan tempat berbentuk tiruan rumah yang indah. Beraneka ragam hiasan yang indah dilengkapi barang-barang yang dibagi-bagikan sebagai pemberian di balai pertemuan.
Demikian
juga beraneka macam bentuk persembahan dapat dilihat pada bait 260: Enjing
rakwa kaping neming dina bathara narapati sabojana krama marak, mwang sang
ksatriya sang padhadhika penuh yasa buku bukuran rinem bata susun, dharmma
dhyaksa kaleh sire kinawawan banawa padha winarnna bhawaka kidung, gongnya lwir
tuhu palwa gong gubara gentura ngirigaweh reseping ngumalat. Artinya ; Pagi-pagi
pada hari keenam baginda raja bersiap mempersembahkan sajian, serta para
pembesar bangsawan persembahannya berbentuk bangunan meru bertingkat yang
diusung. Dua orang penganut agama persembahannya berbentuk perahu dihias sesuai
dengan cerita dalam kidung, besarnya benar-benar sebesar sampan diikuti oleh
tabuh-tabuhan yang gemuruh membuat penonton tertegun. Sedangkan untuk melihat
sejauh mana keseriusan dan kesungguhan dalam mempersiapkan tempat untuk upacara
Srada atau Nyadran dapat kita baca pada bait 250 : Kulwan mandapa sapralamba
winangun stana narendra pupul, lor tekang taratak pinik mideramurwwa tumpa
tumpang wugat, stri ning mantri bhujangga wiprengi daha talpanya sampun pepek. ngkene
daksine bhretyasangghya taragnya sangkya kirana susun Artinya : Di barat
pendapa dihias rumbai janur tempat raja duduk berkumpul, serambi utara dihias
berbelok ke timur, berjenjang-jenjang hingga ke belakang istri para menteri
pujangga, pendeta, disiapkan secukupnya. Diselatan serambi untuk para abdi
tempatnya indah berjenjang. Untuk menghibur masyarakat, utamanya rakyat kecil
juga diselenggarakan beberapa jenis hiburan. bait 264 : Sasing karya tusta rikanang parajana
winangun narerswara huwus, Nang widwamacangah raket raketaganti sabana para
sitada pratidina, hanyat bhata mapatra yuddha sahajang magel agelapanang
gyatangdani paceh, mukyang dhana salwiring manasi tan pagatamuhara harsa ning
sabhuwana. Artinya : Segala kegiatan untuk menggembirakan raakyat telah
diselenggarakan oleh Baginda Raja, yang pandai dalam hal babat menari topeng
bergantian dengan penyanyi-penyanyi setiap hari, prajurit mementaskan tari
perang dahsyat pukul memukul mengejutkan menimbulkan gelak ketawa, mengutamakan
sedekah untuk peminta-minta tak terputus menyebabkan rakyat gembira. Membaca
uraian di atas antara upacara tradsi yang selama ini dilestarikan warga
masyarakat Kemlokolegi dengan pelaksanaan upacara Srada (Nyadran zaman Majapahit)
siapapun orangnya pasti mengatakan bahwa masyarakat Kemlokolegi telah berhasil
melestarikan budaya leluhur, budaya nenek moyang. Melihat makna dan nilai yang
terselubung pada tradisi Jolen dan melihat perkembangan zaman dimasa sekarang
kiranya tidak cukup jika anak cucu dimasa sekarang hanya sebatas "ngleluri"
tradisi jolen. Sekarang sudah waktunya untuk mengembangkan demi kelestarian
budaya tradisi jolen yang kita miliki. Sudah waktunya jolen mendapatkan
sentuhan tangan-tangan terampil yang artistik apabila tidak ingin ditinggalkan
oleh zaman. warga masyarakat kemlokolegi tidak perlu banyak mengharap uluran
tangan orang lain atau dari manapun juga. Hanya "pangarsa praja"
diharapkan menjadi tauladan atau panutan sebagaimana yang dilakukan raja-raja di jaman Majapahit. Jolen sebagai
budaya tradisi memiliki pondasi yang kokoh untuk mempersatukan warga, gotong
royong, berkarya dan membangun. Suatu saat manakala "dikemas" dapat
menjadi aset desa sebagai "obyek wisata berkala" yang tidak akan ada
duanya di daerah Kabupaten Nganjuk bahkan di Jawa Timur sekalipun. Sebagai pewaris,
dan tidak lupa sebagai rasa hormat kepada para leluhur sudah barang tentu kita
memiliki tanggungjawab untuk "melestarikan" dan "mengembangkan"
budaya tradisi jolen yang kita miliki. Di masa mendatang, jolen perlu diajukan
untuk mendapatkan "suaka perlindungan budaya" dengan harapan tidak
akan hanyut oleh riak gelombang jaman di era globalisasi yang penuh kemajemukan
dan tantangan.
BAB IV
ANALISA
Nganjuk memiliki berbagai budaya yang beragam. Pada zaman dulu sangat kental dalam pengamalannya.
Walaupun pada saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat, tapi masih
juga masih banyak juga yang melestarikannya, tidak hilang begitu saja. Karena
di Kabupaten Nganjuk masih banyak tokoh-tokoh budaya yang siap menjaga
kebudayaan bersama para penerus mereka.
Makanan khas, tarian daerah, dan upacara adat masih dilestarikan.
Biasanya di desa-desa atau kecamatan tertentu. Sebenarnya hasil karya kita
sendiri tidak kalah dengan hasil dari luar negeri. Buktinya banyak orang-orang
yang merantau ke luar kota atau ke luar jawa kangen dengan keragaman budaya
daerah mereka. Mereka rindu dengan kekhasan bumbu masakan asli Nganjuk yang
beda dengan yang lain.
Tetapi antusias anak-anak muda sekarang sudah tidak peduli hal itu,
mereka hanya mengikuti mode saja. Bahkan ketertarikan mereka terhadap budaya
kalah dengan para pengunjung dari daerah lain. Mereka tidak sadar betapa
indahnya budaya-budaya Nganjuk. Selain itu ada faktor yang menjadikan orang tua
enggan membiarkan anak mereka ikut terjun dalam pelestarian budaya karena tidak
sesuainya dengan nilai agama.
BAB
V
SOLUSI
DAN KESIMPULAN
A.
SOLUSI
·
Kebudayaan
Kabupaten Nganjuk perlu dilestarikan, guna menjaga agar tidak hilang begitu
saja.
·
Pengenalan
budaya bisa dilakukan dengan menyelenggarakan seminar-seminar budaya yang
dilaksanakan mulai dari tingkat dasar.
·
Pematenan
budaya juga perlu dilakukan agar budaya kita tidak di klaim bangsa lain.
·
Rasa
saling mengharagai sangat penting dalam hidup berbudaya.
·
Kesadaran
individu akan rasa memiliki budaya harus ditingkatkan, terutama pada
generasipenerus.
·
Harus
ada batasan-batasan dalama pengeksplorasian budaya agar tidak keluar dari
norma-norma yang berlaku.
B.
KESIMPULAN
·
Kabupaten
Nganjuk merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Nganjuk
dahulunya dikenal dengan nama Anjuk Ladang. Kabupaten Nganjuk dikenal sangat
berangin dan sering disebut dengan julukan Kota Angin. Kabupaten Nganjuk saat
ini dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Drs. H. Taufiqurrahman.
·
Banyak kesenian-kesenian Kabupaten
Nganjuk diantaranya: Tari Tayub,
Wayang Timplong, Tari mung dhe, dan Jaranan
·
Makanan
khas daerah nganjuk antara lain: nasi becek, dumbleg,
onde-onde
njeblos, nasi pecel, nasi sambal tumpang, dan krupuk upil
·
Salah
satu upacara yang masih sangat dilestariakan di Kabupaten Nganjuk adalah
nyadran.
C.
KRITIK DAN SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah
kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustofa, Akhmad. 1999. Ilmu Budaya
Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia
http://wahyumedia.wordpress.com/2009/05/06/manis-legitnya-dumbleg-nganjuk/
[2] Drs. H. Akhmad
Mustofa,Ilmu Budaya Dasar, hal. 72
[3] http://keseniannganjuk.blogspot.com/2009/12/upacara-tradisional-nyadran.html
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_timplong
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Mung_Dhe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar